UPTD TPA SUMURBATU BUTUH ANGGARAN KHUSUS, OTONOM DAN PERMANEN Oleh Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)

IMG-20251013-WA0115

UPTD TPA SUMURBATU BUTUH ANGGARAN KHUSUS, OTONOM DAN PERMANEN

fjpl.my.id ✓ Kota Bekasi

Berulangkali tempat pembuangan akhir (TPA) Sumurbatu longsor, kasus terbaru pada September 2025 dan 6 Oktober 2025 sampah zona III longsor, menyebabkan terganggu dan lumpuhnya layanan publik. Berjam-jam truk sampah antri panjang hingga jalan raya Sumurbatu menggambarkan ketidakmampuan menangani sampah. Juga, mengganggu pelayanan IPLT Sumurbatu, sebab sebagian infrastruktur IPLT terurug sampah.

Selain berulangkali longsor, TPA tersebut didera berbagai persoalan pelik. Apakah selama ini UPTD TPA Sumurbatu mengelola anggaran sendiri secara otonom dan permanen atau hanya dapat kucuran di bidang tertentu di Dinas LH Kota Bekasi? Misalnya menunggu kucuran anggaran dari Bidang Penanganan Sampah dan Kemitraan (PSKM) Dinas LH Kota Bekasi. Berapa besaran anggaran setiap tahun? Apakah implementasi anggaran mengikuti prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintah yang baik)?

Jika UPTD TPA Sumurbatu atau TPA lainnya di Indonesia tidak diberi kewenangan mengelola anggaran secara mandiri, otonom dan permanen maka pengelola tidak punya kemampuan memadai dalam menyelesaikan persoalan yang ada di lapangan. Padahal penanganannya sangat urgently, butuh keputusan cepat, penyediaan anggaran cepat.

Semua itu tergantung pada kebijakan dan kebesaran hati Walikota dan Ketua DPRD Kota Bekasi. Nasib UPTD Sumurbatu, baik buruknya pengelolaan TPA-nya tergantung pada kedua penguasa tersebut. Sementara rakyat Kelurahan Sumurbatu menunggu niat baik dan political will mereka! Apakah mereka peduli terhadap TPA ramah lingkungan! Atau sebaliknya, masa bodoh teing!?

Kepala dan staf UPTD TPA Sumurbatu yang mengetahui secara faktual permasalahan lapangan dihadapkan pada situasi dilematis setiap hari. Seperti saat ini kondisinya kritis sekali atau darurat klimaks. Seringkali terjadi perbedaan pandangan dan tindakan dalam pemberian solusi antara yang di lapangan dengan birokrat di kantor.

Walikota Bekasi menyatakan, bahwa Pemkot telah menyediakan anggaran Rp 200 miliar untuk memperbaiki TPA Sumurbatu menuju sanitary landfill. Tetapi, uang Rp 200 miliar itu siapa yang berwenang mengelolanya? Mungkin Kepala Dinas LH Kota Bekasi? Mungkin Kabid Pengelolaan Sampah, mungkin bidang PSKM atau bidang lainnya? Berdasar fakta yang begitu buruk sulit merubah sistem open dumping langsung ke sanitary landfill.

Dalam konteks besaran anggaran itu, boleh jadi Kepala dan staf UPTD TPA Sumurbatu hanya mendengar dan mendapat penjelasan dari atasan atau berita media massa. Mereka tak punya wewenang atas anggaran tersebut. Pihak UPTD TPA Sumurbatu hanya jadi pendengar dan pengikut teguh (true believer).

Anggaran Kecil Tergantung dari Atas

Anggaran seringkali jadi alasan, bahwa suatu kebijakan dan pekerjaan tidak dapat diimplementasikan dengan cepat atau mandeg. Kecilnya anggaran selalu jadi dalih, bahwa persoalan sampah dan TPA sulit dipecahkan. Tak ada kreasi dan inovasi pengelola TPA. Bahkan, pengelola TPA “menyerah”, kepala UPTD TPA kabur-kaburan menghindari dari wartawan, peneliti, warga, sebab berbagai masalah bertubi-tebi muncul dan menghantamnya.

Seringkali terjadi masalah yang harus segera tangani, maka mesti mengaju anggaran terlebih dulu ke atas, Dinas LH Kota Bekasi. Proses birokrasinya lamban. Proses pencairannya menunggu waktu lama dan sangat lama. Mirisnya lagi, ketika tak ada anggaran untuk menangani masalah kritis di lapangan! Kondisi gunungan sampah dan air lindi yang sudah parah akan bertambah parah dan complicated.

Jika sutau instansi, bidang atau UPTD dalam suatu birokrasi/pemerintahan tidak pegang anggaran secara otonom dan permanen akan menimbulkan berbagai efek buruk berkelanjutan. Pertama, akan mengalami kelumpuhan. Kedua, penundaan belanja. Ketiga, gagal mencapai target. Keempat, produktivitas terhambat.

Selanjutnya, kelima, akuntabilitas dan transparansi buruk. Keenam, kesejahteraan pegawai menurun. Ketujuh, lingkungan kerja yang buruk dan tercemar. Kedepaan, kesehatan pegawai terganggu. Kedelapan, jika yang dikelola sampah terganggu maka yang dikorbankan adalah lingkungan hidup dan kesehatan warga sekitar. Kondisi ini akan semakin buruk dan berat ketika pratek kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) dan suap merajalela.

Kondisi eksisting TPA Sumurbatu tampak jelas, TPA dikelola secara open dumping, sampahnya sering longsor, leachate mengalir kemana-mana terutama Kali Ciketing dan Kali Asem, sangat bau, populasi belatung, lalat dan serangga bertambah banyak. Hal ini diperparah berbagai infrastruktur utama hancur, seperti jalan masuk TPA, jalan antar zona, drainase, dan lainnya.

 

Jalan utama yang menghubung antara zona menyempit, hancur dan becek sebab tertutup sampah, genangan air bercampur leachate, seperti jalan antara zona III dan IV TPA Sumurbatu. Pun bisa dilihat jalan utama zona I, II menuju zona III menyempit, hancur dan penuh air sampah. Sekarang per 12-14 Oktober 2025 praktiks semua zona TPA Sumurbatu menjadi satu. Artinya, tidak ada lagi pemisahan zona, karena semua tertutup sampah yang terus ditumpuk dan longsor.

Kini luas TPA Sumurbatu sekitar 21 hektar dan terus dilakukan perluasan lahan. Wilayah RT 03/03 dan RT 04/03 Kelurahan Sumurbatu sudah diplot dengan Perwali Kota Bekasi sebagai stok perluasan lahan TPA. Luasnnya lebih 10-15 hektar.

Pemukiman warga wilayah Sumurbatu ini kini terancam ekspansi proyek sampah. Mereka menunggu pembebasan dari Pemkot Bekasi dan pergi dari tanah kelahirannya. Akibat sampah terus berdatangan, sekitar 1.800 ton/hari tanpa pengolahan maka sangat jelas mengancam pemukiman warga.

Retribusi Sampah Kecil

Pembiayaan/retribusi pengelolaan sampah harus bertambah. Maka komponen pembiayaan sistem pengelolaan sampah kota secara ideal dihitung berdasarkan: Biaya investasi; biaya operasi dan pemeliharaan; biaya manajemen; biaya untuk pengembangan; biaya penyuluhan dan pembinaan masyarakat.

Belakangan kondisi pengelolaan TPA di kabupaten/kota mengalami situasi titik nadir, mayoritas TPA open dumping, overload dan darurat. Porsinya di bawah 2-3% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sebab retribusi dari masyarakat pun kecil, seperti kasus Kabupaten Tegal retribusinya Rp 2.000/bulan. Ada pula Pemda yang menarik retribusi sampah 15.000-25.000/bulan.

Sementara retribusi sampah ke TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi sebesar Rp 25.000/m2 ditambah biaya administrasi Rp 5.000. Tahun 2025 naik menjadi Rp 50.000/m2. Sementara itu retribusi sampah ke TPST Bantargebang dari Rp 25.000/ton naik menjadi Rp 250.000/ton. Padahal pengelolaan sampah, mulai dari pengumpulan sampai penataan di TPA butuh biaya besar. Investasi pengelolaan TPA dianggap tidak menarik, implikasinya sekitar 32% sampah yang bisa dikelola, dan 68% pengelolaannya buruk.

Untuk pengelolaan sampah yang bagus dengan teknologi modern ramah lingkungan memerlukan anggaran sekitar Rp 800.000-1.500.000/ton, misal di Singapura. Bahkan, ada yang mencapai Rp 4.000.000-5.000.000/ton, misal di Tokyo Jepang.

Sementara di Indonesia sangat kecil, Rp 150.000-250.000/ton. Kita perlu melihat analisa ekonomi anggaran pengolahan sampah yang dikeluarkan Danantara. Katanya proyek waste to energy. Ada komparasi biaya pengolahan sampah per ton berdasar penggunaan teknologi dan kemampuan mereduksi sampah, yaitu; aerob, an-aerob, insinerasi, biogas, pirolisis, dan plasma gasifikasi.

Anggaran Otonom dan Permanen

UPTD Sumurbatu atau TPA lainnya membutuhkan alokasi anggaran secara langsung, otonom dan permanen. Besarannya variatif, tergantung jumlah/volume, kompleksitas dan rumitnya pekerjaan teknis dan biaya operasional lainnya. Apakah ada plant/teknologi pengolahan sampah di TPA?

Misalnya, alokasi anggaran TPA Sumurbatu Rp 15-20 miliar per tahun. Tahun berikutnya ada penambahan 20-25 miliar atau lebih per tahun. Pun perlu disediakan anggaran tanggap darurat ketika terjadi bencana sampah longsor atau kebakaran. Biarkanlah UPTD Sumurbatu punya wewenang penuh dan bertanggungjawab atas pekerjaan-pekerjaannya!

Yang terpenting dalam penerapan anggaran menggunakan prinsip transparansi, akuntabilitas, efesiensi dan efektivitas, keadilan, disiplin, pendekatan kinerja, fleksibelitas. Tujuan akhirnya pelayanan publik cepat dan memuaskan, dapat memulihkan dan melindungi lingkungan hidup serta kesehatan warga.

Pekerjaan apa saja yang dilakukan di TPA? Apakah sampah hanya ditumpuk dan ditumpuk dengan metode open dumping? Metode ini rawan pencemaran lingkungan dan melanggar UU No. 32/2009, UU No. 18/2008 dan peraturan terkait. Jika open dumping, yang dibutuhkan alat-alat berat dan BBM. Mayoritas anggaran terserap ke pengadaan BBM dan maintance alat-alat berat. Apakah tumpuk-tumpukan sampah dengan ketinggian tertentu kemudian di-cover-soil. Metode ini sudah mengalami transformasi menuju control landfill. Dus, ada anggaran tersendiri untuk pengadaan tanah merah.

Sudah waktunya ada proyek pembangunan pengolahan sampah dengan teknologi handal modern ramah lingkungan skala menengah/besar di TPA Sumurbatu. Teknologi itu mampu mengolah dan mereduksi sampah 80-90% atau 90-100%, jika ingin listrik itu merupakan hasil sampingan atau bonusnya.

Dulu, pernah ada teknologi composting skala menengah tetapi keurug sampah longsor zona III. Kemudian ada teknologi flaring gase sudah lama mangkrak jadi besi tua. Ada teknologi pembakaran sampah di sebelah zona I akhirnya jadi rongsokan. Pun ada sorting plant, sejak dibangun tidak pernah dioperasikan, jadi sarang lalat, sekarang dialih-fungsikan jadi hanggar alat-alat berat.

Pemkot Bekasi dan pengelola TPA Sumurbatu masih alergi mengolah sampah! Kenapa ogah mengolah sampah? Semangat luar biasa pada saat-saat awal membangun plant pengolahan sampah, anggaran terserap, ketika operasional tampaknya kurang bergairah dan akhirnya mangkrak. Yang penting anggaran cair, ada bentuk fisiknya dan difoto-foto jadi laporan pendahuluan, laporan tengah dan final, beres! Proyek rampung!

Berikutnya anggaran untuk water threatment, pengolahan air lindi di IPAS. Butuh anggaran yang memadai, karena IPAS harus dioperasikan selama 24 jam penuh selama 30 hari, atau 365 hari terus menerus. Sayang, IPAS Sumurbatu tidak beroperasi normal. Mestinya, TPA Sumurbatu butuh 2-3 IPAS.

Kemudian ada pekerjaan pemulihan dan perlindungan lingkungan hidup, seperti penghijauan, membuat ruang terbuka hijau (RTH), green belt, konservasi air Kali Ciketing, Kali Asem, dan lainnya, konservasi tanah sekitar aliran kali, dan pekerjaan lainnya. Semua itu butuh anggaran yang mencukupi.

Makanya, harus ada anggaran khusus, diberikan langsung pada UPTD TPA Sumurbatu bersifat otonom dan permanen setiap tahun. Pada 7-10 tahun lalu TPA Sumurbatu pernah mendapat alokasi anggaran langsung dan dikelola secara otonom dan mandiri. Model penggaran ini harus diterapkan karena pekerjaannya sangat beras mengurus sampah sewilayah Kota Bekasi yang masuk ke TPA ini. Pekerjaan ini identik dengan pekerjaan walikota.(Fdl) 13/10/2025